Beranda | Artikel
Umar bin Al-Khaththab, Saat Kritis Tetap Melakukan Nahi Mungkar
Minggu, 17 November 2013

AMIRUL MUKMININ UMAR BIN AL-KHTHTHAB RADHIYALLAHU ANHU, SAAT KRITIS, BELIAU TETAP MELAKUKAN NAHI MUNGKAR

Siapa yang tak mengenal Amirul-Mukminin ‘Umar Al-Faruq? Sebuah nama yang menciutkan nyali kaum musyrikin Quraisy setelah beliau menyatakan memeluk Islam. Sejarah hidupnya sarat dengan peristiwa yang amat berkesan. Kisah-kisahnya menggoreskan kesan mendalam. Alangkah baiknya, bila para orang tua mengajarkan sejarah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah ke generasi penerus, putra-putrinya, sehingga kaum Muslimin dapat mereguk pelajaran dan nilai-nilai luhur dari sifat dan etikanya dalam menegakkan keadilan, rahmat, wara’ dan khasy-yah (rasa takut kepada Allah), dan kasih sayangnya kepada umat. Betapa banyak momentum menarik dan sisi keteladanan dari perjalanan hidup Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Salah satu momentum terakhir dari perjalanan hidup beliau, yakni saat ajal menjemputnya pada tahun 23 H.

Marilah kita baca kisah kematian beliau dari kitab Shahîh Bukhari yang dikisahkan oleh ‘Amr bin Maimûn.[1]

‘Amr bin Maimûn memulai kisahnya dengan berkata:
“Empat hari sebelum ditikam, aku melihat ‘Umar bin Khaththâb di Madinah menghampiri Hudzaifah bin Al-Yamân dan ‘Utsmân bin Hunaif.

Beliau bertanya,”Bagaimana pekerjaan kalian? Apakah kalian berdua takut membebani bumi dengan apa yang tidak dapat dipikulnya?”

Mereka menjawab,”Kami telah membebaninya sebuah urusan yang dapat diselesaikan. Tidak banyak yang tersisa.”

Perlu diketahui, ‘Umar telah mendelegasikan mereka untuk memungut jiz-yah atas penduduk yang wajib membayarnya. Kemudian ‘Umar berkata lagi: “Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberiku keselamatan, niscaya tidak akan aku biarkan para janda di Irak membutuhkan seorang lelaki (pelindung) setelahku nanti.”

‘Amr melanjutkan: “Tidaklah empat hari berlalu setelah itu, kecuali beliau terkena tikaman. Aku berdiri di dekat beliau (dalam shalat) yang dipisahkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma pada hari penikaman. Setiap saat melewati antara shaf, beliau berseru: “Luruskan!”, hingga ketika sudah tidak terlihat adanya celah, maka beliau ke depan dan bertakbir untuk shalat Subuh. Kadang beliau membaca surat Yusuf atau An-Nahl atau yang sejenis di rakaat pertama, sampai orang-orang banyak berdatangan. Saat beliau ingin bertakbir, terjadilah penikaman.

Ketika ditikam, beliau mengatakan: “Seekor anjing telah membunuhku (atau memakanku)”.

Kemudian orang kafir (si penikam) itu membabi buta dengan pisau yang bermata dua. Dia tidak melewati orang di kanan kirinya, kecuali dengan menikamnya. Sampai berjumlah tiga belas orang. Tujuh di antaranya meninggal. Ketika melihat pemandangan itu, seorang lelaki melemparkan mantel orang itu. Maka, (tatkala) si penikam yakin akan tertangkap, akhirnya ia bunuh diri.

‘Umar Radhiyallahu anhu meraih tangan ‘Abdur-Rahman Radhiyallahu anhu yang berada di dekatnya (agar meneruskan shalat bersama jama’ah). Ia melihat semua kejadian itu. Sedangkan orang yang berada di belakang, tidak mengetahui apa-apa, hanya saja mereka sudah tidak lagi mendengar suara ‘Umar Radhiyallahu anhu.

Mereka mengatakan: “Subhanallah!”.

Maka ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf meneruskan shalat yang pendek. Ketika orang-orang telah pulang, ‘Umar bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Coba lihat siapa yang membunuhku!

Ia berkeliling sejenak dan kembali dengan menjawab: “Ia budak Mughirah”.
‘Umar berkata: “Semoga Allah memeranginya. Aku telah berbuat baik kepadanya. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadikan kematianku tidak di tangan orang yang mengaku Islam.

Kemudian kami membawanya ke rumah. Seolah-olah orang-orang tidak pernah tertimpa musibah sebelumnya dengan penikaman ‘Umar ini. Beliau diminumi susu, tetapi air susunya keluar melalui luka tusuknya. Maka orang-orang mengetahui, bahwa beliau akan meninggal.

Kami menemui beliau, orang-orang pun mulai menyanjungnya. Ada seorang lelaki muda datang dan berkata: “Bergembiralah, wahai Amirul-Mukminin dengan kabar gembira dari Allah, karena menjadi sahabat Rasulullah dan jasa baik dalam Islam yang telah engkau ketahui. Kemudian engkau memegang kepemimpinan, dan engkau berbuat adil dan meraih mati syahid”.

‘Umar berkomentar: “Aku berharap itu cukup. Tidak menjadi bebanku atau menjadi milikku.”

Dalam riwayat Bukhari disebutkan: “Aku berharap, seandainya aku bebas dari pemerintahan, tidak menjadi masalah atau kemudahan buatku”.

Saat pemuda itu berbalik untuk keluar dan ‘Umar melihat pakaiannya menyentuh tanah, beliau menyuruh: “Panggil kembali pemuda itu”.

Ketika pemuda datang, maka ‘Umar menasihati: “Wahai anak saudaraku. Angkatlah pakaianmu. Itu lebih memelihara pakaianmu dan lebih menunjukkan ketakwaanmu”.

Kemudian ‘Umar menoleh ke arah anaknya sembari berkata: “Wahai ‘Abdullah bin ‘Umar. Hitunglah utang-utangku”.

Ternyata setelah dihitung, hutang beliau mencapai delapan puluh enam ribu dinar atau kurang lebih sebesar itu.

‘Umar berkata: “Kalau harta keluarga ‘Umar bisa melunasinya, maka bayarlah dengan hartanya. Jika tidak, mintalah ke Bani ‘Adi bin Ka’ab. Jika tidak mencukupi, mintalah ke suku Quraisy. Setelah itu, jangan minta ke lainnya. Tolong, lunasi utangku, dan bergegaslah ke ‘Aisyah Ummul-Mukminin dan katakanlah,’Umar mengucapkan salam kepadamu, jangan sebut Amirul-Mukminin [2]. Hari ini aku bukan lagi pemimpin mereka’. Katakanlah,’Umar bin Khaththab meminta untuk bisa dimakamkan bersama dua sahabatnya (maksudnya Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq)”.

Maka ‘Abdullah mengucapkan salam dan minta ijin masuk dan menemui ‘Aisyah yang sedang terduduk menangis.

Ia berkata,”‘Umar bin Khaththab menyampaikan salam untukmu dan meminta agar bisa dikuburkan bersama dua sahabatnya”.

‘Aisyah menjawab,”Sebenarnya aku ingin memakainya sendiri. Tetapi hari ini, aku akan mengutamakan dirinya daripada diriku”.

Begitu kembali, maka diberitahukan kalau ‘Abdullah bin ‘Umar telah datang. ‘Umar berkata,”Tolong angkat aku”.

Seorang lelaki menyandarkan beliau di tubuhnya. Beliau bertanya,”Apa yang engkau dapatkan?”

“Yang engkau sukai, wahai Amirul-Mukminin, ia mengijinkan,” jawab ‘Abdullah.

“Alhamdulillah. Tidak ada yang lebih aku pikirkan daripada itu. Kalau aku nanti meninggal, maka bawalah diriku kepadanya dan ucapkan salam, dan katakanlah ‘Umar bin Khaththab meminta ijin masuk. Bila ia memberi ijin, masukkan tubuhku. Kalau tidak, kuburkan aku di pemakaman umum”[3].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan beberapa pelajaran penting dari kisah di atas. Di antaranya sebagai berikut.

1. Kekuatan tingkat keagamaan ‘Amirul-Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, padahal beliau sedang dalam masa kritis.
2. Besarnya rasa kasih sayang beliau terhadap kaum Muslimin.
3. Besarnya perhatian beliau terhadap kaum Muslimin.
4. Besarnya hasrat beliau untuk menegakkan sunnah di tengah kaum Muslimin.
5. Besarnya rasa takut beliau kepada Allah.
6. Besarnya perhatian beliau terhadap urusan agama dibandingkan urusan pribadi.
7. Larangan beliau terhadap pujian di hadapan orang yang dipuji, apalagi yang mengandung unsur yang berlebihan atau kedustaan. (AM)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Shahîh Bukhari, kitab Manâqibush-Shahabah. Lihat Fathul-Bari (7/59 no. 3700), secara ringkas.
[2]. Ibnu At-Tin menjelaskan, bahwa ‘Umar ingin memberitahukan keinginannya itu hanya merupakan permohonan, dan bukan perintah dari ‘Umar bin Al-Khaththab.
[3]. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Malik, bahwa ‘Umar merasa khawatir jika pemberian ijin ‘Aisyah disampaikan sewaktu ‘Umar masih hidup dikarenakan rasa segan, sehingga akan berubah pikiran setelah wafatnya. Maka beliau tidak ingin memaksanya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3762-umar-bin-al-khaththab-radhiyallahu-anhu-saat-kritis-beliau-tetap-melakukan-nahi-mungkar.html